Beberapa makhluk bumi menyebutku sebagai pencinta sastra dan puisi. Ya, aku sangat menghargai keelokan karya tulis manapun yang tercipta. Mereka juga menyebutku pelindung para gembala, pengelana, bahkan pencuri dan penipu. Aku tak peduli.
Aku hanya melakukan apa yang kusuka.
Aku menyukai keindahan. Aku mencintai kebebasan.
Akulah sang pembawa pesan.
Dan kini, aku memiliki tugas tambahan ; mengantar roh menemukan jalannya menuju Tartarus, akhir dari kehidupan, kerajaan Hades, sang dewa kematian.
Aku tak tahu apakah karyaku ini akan hilang tanpa jejak atau membuat murka dewa-dewi lainnya jika mereka tahu, atau bahkan sampai di telinga para makhluk bumi sekalipun. Lagi-lagi, aku tak peduli.
saat ini, aku hanya ingin menuangkan kisahku.
Mungkin kau pernah mendengar kisahku bersama Aphrodite, dewi tercantik yang pernah tercipta. Juga kisahku bersama salah satu peri di Sisilia, yang bahkan tak kuingat namanya. Atau mungkin kisahku dengan dewi-dewi lainnya? sudah kubilang aku mencintai kebebasan.
Tapi aku yakin kau takkan pernah mendengar satu kisahku ini. Karena aku tak pernah menyampaikannya pada siapapun. Kisahku yang pertama. Alasan mengapa kini aku tak hanya bertugas menyampaikan pesan, namun juga menunjukkan jalan bagi mereka yang telah tiada.
Inilah kisah yang selalu kuingat. Satu-satunya kisahku yang berharga.
Permasalahan utama dalam tugasku adalah bagaimana menyampaikan pesan dalam bahasa yang dimengerti para makhluk bumi. Saat itu, aku sering mengalami kesulitan. Ketika sedang menjelajahi berbagai tempat untuk mencari penerima pesan yang tepat, aku bertemu dengan makhluk bumi terindah yang pernah kulihat.
Atheria.
Gadis itu bernama Atheria.
Kuingat jelas pancaran matanya yang berwarna hitam pekat. Rambut coklatnya yang bergelombang tergerai begitu lembut. Terhempas senyuman angin. Aroma dan bahkan gerakan tubuhnya, semua yang dimiliki gadis itu membuatku terpikat. Aphrodite mungkin makhluk tercantik yang pernah diciptakan.
Namun gadis ini makhluk terindah yang pernah kulihat.
Aku kini mengerti mengapa mereka menyebutku sebagai dewa yang paling manusiawi. Saat ini aku bahkan merasa menjadi bagian dari bumi itu sendiri.
Aku menghampirinya dalam wujud yang dapat diterima oleh manusia, karena mereka takkan sanggup melihat wujud asli dewa-dewi dalam kegemilangannya. Gadis itu tersenyum ramah. Waktu yang kami miliki sangatlah singkat untuk sekedar bertatap pandang. Jika saja Zeus tak melemparkan sepercik halilintar untuk mengingatkanku pada tugas utamaku, aku pasti sudah lebih dulu mengenalnya hari itu.
Namun sejak saat itu, setiap aku mendapatkan titah, setiap aku memiliki kesempatan, aku selalu menhampiri bukit Arkadia, merubah wujudku menjadi manusia dan menyapa gadis itu. Setiap hari. Setiap waktu. Setiap menit. Setiap detik yang kumiliki.
Hingga aku sadar. Aku mencintainya.
Ketika aku bersama Atheria, aku memiliki segalanya. Hidup abadi yang kumiliki tak dapat dibandingka dengan kebahagiaan yang kudapat ketika bersamanya. Aku, mencintai kebebasan. Dan kini kebebasanku digenggam oleh Atheria.
Pengalamanku yang terlalu sedikit membuat diri ini bertindak gegabah. Aku menyampaikan hal ini pada Zeus. Kini satu-satunya keinginanku adalah menghabiskan waktu bersama Atheria.
"Aku ingin menjadi manusia." aku berkata didpan takhtanya. Menunduk.
Zeus terdiam, tangannya mengepal.
Aku memberanikan diriku sendiri untuk menatap dalam matanya. Itu kali pertama aku memiliki keberanian begitu besar, bahkan untuk sekedar menatap matanya. Sang penguasa dunia, penggenggam kehidupan. Zeus masih terdiam, sebelum akhirnya bertanya :
"mengapa?"
untuk sejenak, aku berusaha memikirkan kata yang tepat. Menghirup udara dengan tenang, menutup mataku. Membayangkan Atheria dengan senyumannya.
Hening.
Lantas kujawab dengan penuh keyakinan, " Aku ingin bersamanya..."
Kurasa ia tahu siapa yang kumaksud. Wajah Zeus seketika berubah. Aku tak mengenali ekspresi itu, ekspresi yang tak pernah ia perlihatkan padaku sebelumnya. Wajah yang berlapis mentari agung bijaksana, pergi seketika.
Zeus menahan kemarahannya. Itulah yang kutahu. Namun tekadku bulat, takkan ada yang bisa menghalangiku untuk hidup bersama Atheria.
" Aku ingin bersamanya. Selamanya."
Kepalan tangannya semakin keras. Entah apakah Tartarus itu sendiri sekelam suasana saat ini.
" Ayah, kumohon... "
Seketika halilintar menyambar. Tak pernah kulihat halilintar sedahsyat ini sebelumnya. Tak pernah.
Itulah kali pertama aku melihat Sang Penguasa Olympus murka. Ia menitahkan Poseidon mengirim badai terbesar yang pernah ada ke seluruh penjuru bumi. Ia melemparkan halilintar terdahsyat yang pernah kulihat.
Namun bagian yang terparah adalah, ia menenggelamkan bukit Arkadia. Tidak, ia memusnahkannya.
Kepanikan menyergap ragaku. Aku bergerak secepat yang kubisa. Berlari diatas angin secepat mungkin, berharap dapat memungut kepingan kenanganku bersama satu-satunya gadis yang kucintai. Aku bahkan tak peduli jika halilintar Zeus mengoyak ragaku.
Tapi tak ada yang tersisa. Tidak ada.
Sesaat aku tak dapat merasakan apapun.
untuk pertama dan terakhir kalinya, aku merintih didepan Zeus. Berharap dapat melihat Atheria lagi. Sekali saja, sekali saja...
Hanya sekali...
Zeus mengabulkannya. Ia memberiku tugas sekaligus kesempatan terakhir bertemu dengan gadis itu. Aku dapat melihatnya, namun aku tidak diperkenankan menyentuhnya, atau berbicara dengannya sekalipun.
Kulangkahkan kaki secepat mungkin menuju keberadaannya. Hatiku hancur saat melihat dirinya tak berdaya dengan lilitan rantai kematian. Sesuai titah Zeus, aku menuntunnya tanpa berkata apapun.
" Tuan, kemana kau akan membawaku ?" kudengar suaranya dari belakang. Ah, benar. Kini ia bahkan tak mengenaliku. Tak apa, melihatnya saja sudah lebih dari cukup.
"Jika hari ini adalah kali terakhir aku dapat melihat mentari, jika kau kini membawaku menuju Hades Yang Agung, bolehkah aku meminta bantuanmu?". Aku tetap diam. Ia kembali berbicara, " Aku... belum sempat mengucapkan perpisahan pada seseorang."
Kerongkonganku tercekat. Ia kembali melanjutkan, "Sebenarnya aku bahkan tak tahu apakah ia selamat dari bencana itu atau tidak, tapi... jika kau bertemu dengannya, kumohon.. katakan bahwa aku baik-baik saja."
"Dan tolong katakan..." kini kudengar jelas suaranya bergetar. "Katakan, bahwa bertemu dengannya adalah kebahagiaan terbesar dalam hidupku. Tak ada keinginanku yang tersisa, kecuali.."
aku menoleh, melihatnya tersenyum dalam tangis saat kami tiba di pemberhentian terakhir.
"....kecuali menanti hingga tiba saatnya ia dapat menemaniku lagi disini, aku akan tetap menunggu."
Jika saja ia tahu bahwa kami takkan pernah bertemu lagi. Tidak, seorang dewa takkan pernah melewati gerbang pemberhentian terakhir. Tapi tak ada yang dapat kulakukan. Tidak ada.
Kini kau tahu, Atheria adalah wanita pertama yang paling kucintai, sekaligus orang pertama yang kutuntun menuju Tartarus. Aku, adalah dewa yang menuntun orang terkasihnya menuju gerbang kematian itu sendiri.
Itulah awal mula mengapa kini aku tak hanya bertugas membawa pesan, tetapi juga menuntun jalan bagi roh untuk mencapai Kerajaan Hades. Aku tak mengingini atau mencintai siapapun melebihi Atheria. Namun aku juga tak sanggup mengenangnya dalam tangis. Itulah sebabnya kini muncul beragam kisahku bersama dewi, nimfa dan peri. Semua kisah yang muncul setelah kisahku bersama Atheria berakhir.
Tak ada yang mengetahui kisah ini. Kisah yang tak sempurna untuk kuceritakan, terlalu pahit untuk dikenang.
Namun terlalu berharga untuk dilupakan.
Sang Pembawa Pesan
The Hidden Story of Hermes
Hermes Mercury Greek God Art by Largo Ross |
0 comments:
Post a Comment