Searching...
Friday, August 15, 2014

Alexandrie: Fairy of Love

Pernahkah kau memiliki perasaan kepada seseorang?
Pernahkah kau merasakan perasaan tulus tanpa mengharap balasan?
Pernahkah kau mendengar kisah Alexandrie, yang mereka sebut Fee de L'amour
atau Fairy of Love?

Ini kisah mereka. Para makhluk anggun.
Awal dari perasaan yang tumbuh dengan tulus, tanpa balasan.

Mereka tak memberitahu kisahnya padamu.
Tapi aku tahu. Kumbang-kumbang tahu. Semut si mungilpun sama.
Yah... aku tahu karena mereka bercerita padaku. Kini, aku akan menceritakan kisahnya padamu.



Hari itu, hari dimana sang mentari tak pernah seterik ini.
Hari dimana bunga-bunga masih tersenyum ceria. Hari dimana malam tak pernah menusuk seperti saat ini.
Saat malam masih sejuk. Saat kalian, para manusia masih menjadi sahabat mereka.

Kau mungkin takkan percaya, tapi peri itu ada.
Maksudku, mereka benar-benar ada.

Tak seperti postur yang dikisahkan, wujud asli mereka mirip postur tubuh manusia. Namun lebih pucat keperakan, dengan bahasa yang berbeda. Ya, mereka bersayap. Tembus pandang. Jika tak kau perhatikan, kau takkan mungkin menyadarinya.

Peri itu ada. Mulai dari peri tingkat tinggi seperti Peri Bunga, Peri Cahaya dan bahkan Peri Hitam--mereka tak menyebutnya peri kegelapan--sampai  peri sederhana seperti Peri Cermin.
Sebenarnya, Tidak ada Peri Cinta, yang ada hanyalah Peri Cermin.


Apa yang dilakukan peri? sejujurnya aku juga tak mengerti, mereka tak pernah benar-benar menceritakannya padaku. Satu hal yang kutahu, kemusnahan bangsa makhluk anggun akan menyebabkan aura dunia tak seimbang, dan akhirnya hancur perlahan.


Hingga saat ini alasan keberadaan mereka masih menjadi misteri. Terutama peri Cermin. Kurasa mereka tak melukis pelangi, juga tak membuat bunga mekar berseri. Tapi mereka mengatakan bahwa bangsa Peri Cerminlah yang mewariskan perasaan tulus kepada manusia. Mereka menyelinap dalam kehidupan kita, mengagumi keangkuhan, keegoisan sekaligus kepedulian yang kita miliki, para makhluk fana.

Peri Cahaya takkan bisa hidup tanpa cahaya, begitu pula Peri Bunga yang tidak dapat bertahan tanpa adanya musim semi. Tak terkecuali Peri Cermin. Serpihan cermin yang tajam dan bersinar membuat mereka kuat sekaligus berbinar. Mereka berkata, bahwa saat itu, seorang Peri Cermin bernama Alexandrie menyelinap dalam sebuah rumah mungil. Masalahnya adalah, pemilik rumah itu, pembuat cermin hias untuk istana.

Karyanya? tak usah diragukan lagi. Indah dan megah.
Mereka mengatakan bahwa dalam sekali pandang, kau akan mengetahui apa imajinasi dalam benak pemuda itu saat merancang karyanya.

Alexandrie benar-benar terpikat oleh cermin rancangan sang pemuda, tanpa berkata-kata mereka saling memandang, terpesona satu sama lain.

Tanpa mereka sadari, keduanya memiliki perasaan yang sama. Di hari berikutnya peri itu menyelinap ke bagian terdalam cermin. Mengagumi dan terus mengagumi si pemuda secara diam-diam.

Ia makin menyukai pemuda itu.

Malang bagi dirinya, kekuatannya sendiri membuat ia terperangkap dalam cermin itu, terlalu indah, terlampau kuat menariknya bagai magnet. Dari sisi si pemuda, jika ia bercermin, ia akan melihat bayangannya sendiri. Namun tidak dari sisi Alexandrie. Ia melihat pemuda yang ia sukai, apapun yang ia lakukan, apapun yang ia katakan.

Lantas? kau lebih pintar meneruskan kisah ini daripada aku, sebenarnya.



Di dunia peri, ada satu peraturan: Peri tak bersuara dihadapan manusia.
Mereka tak diperbolehkan berbicara dengan makhluk fana. Mereka tak bisa. Peraturan yang semakin membuat Alexandrie sengsara. Ia melihat pemuda itu, ia merasakan pemuda itu, namun sang pemuda tak pernah menyadari keberadaannya.

Saat pemuda itu sedih, ia selalu menatap lekat dirinya sendiri di cermin kesayangannya, tempat Alexandrie terperangkap. Pandangan matanya, gerakan tubuhnya, setiap kata-kata yang terlontar dari mulutnya membuat Alexandrie ikut merasakan kepedihan sang pemuda. Ia menangis. Si pemuda seolah menatap lekat mata Alexandrie.

Ya, sebenarnya yang ia lakukan hanyalah menatap bayangannya sendiri.

Si pemuda juga merasakan kerinduan sama besarnya seperti yang dirasakan oleh Alexandrie. Alexandrie tak tahan lagi, ia menghabiskan hampir seluruh sisa  hidupnya berada di cermin itu, menemani seseorang yang bahkan tak menyadari keberadaannya disana.

Tangan si pemuda menyentuh cermin. Dari sisi satunya, Alexandrie meletakan tangan keperakannya tepat pada posisi tangan si pemuda berada.

" S'laire.. qour triexco..?"
Could you please... hear me?

"Mies t're quair... "
I'm here..


Alexandrie terus terisak. Cermin itu terlalu kokoh, dinding pembatas diantara dunia mereka terlalu kuat.


Tiba-tiba terlihat ekspresi yang berbeda dari si pemuda. Alexandrie melihatnya dengan sangat jelas. Lelaki itu memandang cermin lebih lekat dari sebelumnya, keatas, kebawah... bagian manapun yang bisa ia lihat. Ia merasakan sesuatu. Ya, tapi apa?

" is that you..?"

Mata si pemuda berkaca-kaca putus asa. Ia yakin merasakan sesuatu dari dalam sana. Ia hanya tak tahu apa. Alexandrie tersenyum, kini ia benar-benar sadar semuanya takkan mungkin. Untuk bisa melihat dan memiliki perasaan pada si pemuda, itu lebih dari cukup.


Lebih dari cukup.


Alexandrie terus tersenyum, juga saat si pemuda mengmbil sesuatu dan memecahkan cermin itu. Lelaki itu tahu benar ada sesuatu disana, hatinya yang memberi tahu. Ia berniat membebaskannya, apapun itu.

PRANG !


Cermin hancur berserakan.






Betapa kecewanya si pemuda. Ia tak menemukan apa-apa.
Kosong.





Ya, sebagaimana yang kukatakan tadi, Peri Cermin tentu takkan bisa bertahan tanpa cermin yang memberikan energi baginya. Alexandrie hancur bersama kepingan cermin yang tersebar. Namun hatinya selalu disana, menanti si pemuda. Ia tersenyum. Bahkan disaat terakhirnya. Ia tersenyum karena bisa terus melihat orang yang dicintainya.

Lalu bagaimana dengan si pemuda?

Lelaki itu menghabiskan sisa hidupnya untuk menanti Alexandrie yang takkan pernah muncul lagi. Ia membuat sebuah mahakarya, menghabiskan sisa waktu yang ada.



"Jika kau beruntung, kau bisa menemukan patung Alexandrie yang terbuat seutuhnya dari kaca, hingga kini terus bercahaya, memancarkan jiwanya yang tulus, setulus perasaannya pada di pemuda."



Itulah kalimat terakhir yang mereka ucapkan padaku.


Kau mungkin takkan percaya, tapi peri itu ada.
Alexandrie si Peri Cermin, mengajarkan ketulusan perasaannya. Itulah mengapa, mereka memanggilnya Fairy of Love.


kisah Alexandrie mengajarkanku... sesuatu yang amat besar.




Bagaimana kita bisa memiliki perasaan yang tulus, sekokoh apapun dinding yang menghalang. Bagaimana kita bersyukur atas apa yang kita rasakan.

Bagaimanapun kisah yang kita ukir, setidaknya kita memilikinya, bukan? setidaknya kita mengalaminya.







Setidaknya, kita merasakannya.


Alexandrie, Fee de L'amour | Jays Maulana

0 comments:

Post a Comment

 
Back to top!